Miris...
Itulah yang pertama kali kurasakan ketika melihat penggusuran pedagang kaki lima di Pasar Terminal Aur Kuning, Bukittinggi. Sebab mirisnya itu adalah penggusuran yang biasanya dilakukan oleh Satpol PP diambil alih secara dominan oleh aparat kepolisian dengan menggunakan kendaraan Anti Huru Hara berupa Water Cannon. Sesuatu tindakan yang pertama kali kulihat di sini dalam hal penertiban pedagang kaki lima yang berjualan di badan jalan karena ketiadaan tempat yang memadai untuk berjualan. Walaupun penggusuran itu hanya dilakukan tanpa menyemprotkan air dengan tekanan tinggi tapi dengan mengucurkan ke jalan dekat para pedagang berjualan, itu sudah cukup membuat mereka kelabakan karena percikan air dari moncong cannon yang cukup tinggi itu. Terlebih lagi yang membuatku cukup prihatin adalah pedagang yang sudah tua dengan tenaga yang terbatas berusaha menyelamatkan dagangannya.
Penggusuran, sepetinya itulah yang belakangan marak terjadi di sini, Bukittinggi. Sejak Satpol PP menjadi instrumen garis depan penegakan Perda yang dirancang oleh mereka, para pembuat peraturan yang diawaki oleh para anggota dewan yang terhormat yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu agar menjadi wakil mereka yang bermartabat. Tapi sayangnya, penegakan Perda tanpa solusi yang memadai untuk memberikan akses kepada rakyat kecil dalam menjalankan usahanya secara nyaman hanya akan menjadi sebuah hiasan lembar-lembar draft peraturan yang sudah disahkan. Penegakan peraturan terhadap para pedagang kecil tersebut hanya dilakukan dengan beberapa kali peringatan, yang diakhiri dengan penggusuran. Okelah kalau itu penertiban pedagang makanan di saat bulan Ramadhan, tapi ini terjadi di saat hari pasar yaitu Rabu dan Sabtu.
Sepertinya perlu studi banding ke Batusangkar yang pada hari pasarnya yaitu hari Kamis, sebelah badan jalan dikhususkan untuk pedagang kaki lima, sebelah lagi untuk akses lalu lintas, karena itupun jalan satu jalur dengan lebar jalan yang kurang lebih sama dengan sebelah jalan ByPass Aur Kuning yang satu jalur. Ini sebuah komparasi yang menurutku adalah sebuah win-win solution agar citra Bukittinggi sebagai kota yang pernah menyandang Kota Adipura kembali terwujud. Namun semua itu tentunya harus didukung oleh itikad baik pengelolanya dengan penataan kota yang lebih elegan serta mengikutsertakan planolog handal. Terutama sekali tidak terlalu berorientasi dan tergila-gila dengan iming-iming proyek besar yang disertai dengan keuntungan besar. Tidak...
Namun, jika semuanya tetap seperti ini dan tetap stagnan dengan pola penertiban seperti yang sudah-sudah. Pendapatku, sebaiknya para petugas garda depan dieduksi untuk melakukan penertiban dengan pola personal approach yang lebih ramah dan menyejukkan hati. Bahkan bila perlu dengan warna seragam yang menunjukkan kesan tidak sangar dan menyeramkan. Maaf, warna yang kumaksud adalah warna Pink atau Merah Jambu. Warna yang berkesan penuh cinta sehingga yang digusur pun akan pindah dengan sukarela tanpa diminta dengan corong mikropon yang berbunyi bla bla bla bla... Itupun mungkin akan menjadi sebuah hiburan tersendiri di tengah pergolakan tawar-menawar harga di dalam transaksi jual beli antara penjual dan pembeli. Serta didukung oleh wakil rakyat yang membuat Perda seragam yang seperti itu.
Untuk itu, cuma satu pertanyan yang perlu dilontarkan untuk pola Gusur Pinky Pinky ini...
Itulah yang pertama kali kurasakan ketika melihat penggusuran pedagang kaki lima di Pasar Terminal Aur Kuning, Bukittinggi. Sebab mirisnya itu adalah penggusuran yang biasanya dilakukan oleh Satpol PP diambil alih secara dominan oleh aparat kepolisian dengan menggunakan kendaraan Anti Huru Hara berupa Water Cannon. Sesuatu tindakan yang pertama kali kulihat di sini dalam hal penertiban pedagang kaki lima yang berjualan di badan jalan karena ketiadaan tempat yang memadai untuk berjualan. Walaupun penggusuran itu hanya dilakukan tanpa menyemprotkan air dengan tekanan tinggi tapi dengan mengucurkan ke jalan dekat para pedagang berjualan, itu sudah cukup membuat mereka kelabakan karena percikan air dari moncong cannon yang cukup tinggi itu. Terlebih lagi yang membuatku cukup prihatin adalah pedagang yang sudah tua dengan tenaga yang terbatas berusaha menyelamatkan dagangannya.
source: lowongankerjaterbaru102.blogspot.com |
Sepertinya perlu studi banding ke Batusangkar yang pada hari pasarnya yaitu hari Kamis, sebelah badan jalan dikhususkan untuk pedagang kaki lima, sebelah lagi untuk akses lalu lintas, karena itupun jalan satu jalur dengan lebar jalan yang kurang lebih sama dengan sebelah jalan ByPass Aur Kuning yang satu jalur. Ini sebuah komparasi yang menurutku adalah sebuah win-win solution agar citra Bukittinggi sebagai kota yang pernah menyandang Kota Adipura kembali terwujud. Namun semua itu tentunya harus didukung oleh itikad baik pengelolanya dengan penataan kota yang lebih elegan serta mengikutsertakan planolog handal. Terutama sekali tidak terlalu berorientasi dan tergila-gila dengan iming-iming proyek besar yang disertai dengan keuntungan besar. Tidak...
Namun, jika semuanya tetap seperti ini dan tetap stagnan dengan pola penertiban seperti yang sudah-sudah. Pendapatku, sebaiknya para petugas garda depan dieduksi untuk melakukan penertiban dengan pola personal approach yang lebih ramah dan menyejukkan hati. Bahkan bila perlu dengan warna seragam yang menunjukkan kesan tidak sangar dan menyeramkan. Maaf, warna yang kumaksud adalah warna Pink atau Merah Jambu. Warna yang berkesan penuh cinta sehingga yang digusur pun akan pindah dengan sukarela tanpa diminta dengan corong mikropon yang berbunyi bla bla bla bla... Itupun mungkin akan menjadi sebuah hiburan tersendiri di tengah pergolakan tawar-menawar harga di dalam transaksi jual beli antara penjual dan pembeli. Serta didukung oleh wakil rakyat yang membuat Perda seragam yang seperti itu.
Untuk itu, cuma satu pertanyan yang perlu dilontarkan untuk pola Gusur Pinky Pinky ini...