Sekolahku Di Rawang (Part-2)

Setelah menjelajah sekolahku di Part-1, maka ini adalah kelanjutannya..

Satu hal yang tak kalah menarik ketika berada di sekolahku ini, MTsN Panampung di Rawang, tentunya adalah kisah anak muda yang katanya mulai mengenal cinta, klise memang klise sobat… kliseeeee sekali… tapi selalu menarik bagi para beginner. Di kelas Satu, aku sudah dipercaya menjadi wakil kelas untuk mengikuti MTQ antar kelas maupun antar SLTP tingkat kecamatan, dengan bekal suara yang alhamdulillah masuk nominasi untuk mengikuti MTQ hasil gemblengan Ibu Lihayati, Ibu Salmi Ghazali, Ustadz Salman Al-Farisi dan tentunya yang istimewa gemblengan ibuku yang ketika remaja juga juara MTQ. Akan tetapi untuk suatu hal, karena mungkin untuk alasan emansipasi atau bahasa kerennya Kesetaraan Gender, tentunya selain peserta putra yaitu diriku, harus ada peserta putri yang mendampingi. Maka dipilihlah seorang teman sekelas yang berinisial NS. Seorang gadis hitam manis, maniiiis sekali… apalagi kalau tersipu-sipu Ku sengaja mencantumkan inisial bukan karena dia seorang tersangka atau terdakwa –Terbukti Tidak Wangi-. Tapi lebih kepada alasan privasi.

Sekolahku Di Rawang (Part-2)
source: mtsnpanampung.wordpress.com
Nah…di beberapa MTQ itulah aku dan NS hampir selalu berdampingan sebagai juara satu kategori Putra dan Putri, atau aku sebagai juara satu dan dia juara dua dalam kategori gabungan. Entah karena keisengan siapa, mulailah berkembang isu, rumor, gosip, ghibah dan entah apa lagi namanya bahwa aku ada affair dengan NS. Aku enjoy aja dengan segala ketidak-pedulian terhadap segala desas-desus yang menimpaku, karena aku lebih mengambil sikap profesional sebagai wakil kelas maupun wakil sekolah dalam MTQ. Tetapi rupanya ada sekelompok temanku yang menyokong agar aku pedekate terhadap NS bahkan ada yang siap mendiktekan surat cinta untukku. Bodohnya, ide konyol menulis surat diktean itu ku lakukan juga. Apa responnya? Hehehe…silakan sobat perkirakan sendiri.. itulah pengalaman tentang relationship yang ku alami yang mungkin merupakan Cinta Monyet atau barangkali Cinta Lutung. Tapi aku sangat mengapresiasi teman-temanku yang memberikan support dalam bentuk teamwork untuk memprovokasiku melakukan pedekate. Nah..di saat itulah aku juga mengenal dasar-dasar teamwork walaupun cuma dalam rangka team provokator misi surat cinta dikteanku. Terimakasih teman-temanku… Wi Ar Pren Poreper.. By The Way, kapan kita reunian besar-besaran? Tidak sekedar temu kangen, sekalian bikin partai… hehehe…

Kembali ke kisah konyolku, yang cukup mengejutkanku, seorang guru muda mata Pelajaran Biologi malah ikut menjadi supporterku… hal lain yang lebih menghebohkan dan menggetarkan adalah; sebagian besar adik-adik kelasku juga ikut untuk memberikan dukungan. Tapi ajaibnya –sepengetahuanku-, cuma satu guru itu saja yang mengetahui. Sungguh sebuah konspirasi yang tak terkira kerahasiaannya, mungkin termasuk kategori Top Secret berjamaah dengan level A-1. Berjamaah karena kerahasiaannya dijamin bersama, persis perangai intel Melayu, yaitu intel yang menunjukkan kesan bahwa dia itu seorang intel, demikian yang ditulis Pak A.C. Manullang dalam bukunya yang berjudul; Menguak Tabu Intelijen. Penjelasan paragraf Tiga ini terjadi ketika aku sudah kelas Tiga.

Dari sekelumit kisah sekolahku di Rawang ini, menjadi bagian tak terlupakan dari rantai kehidupanku yang seiring bertambahnya waktu, semakin tetap dilengkapi dengan rantai-rantai segar lainnya. So, bagaimana dengan NS? Sekarang dia sudah bekerja di sebuah LSM di Jakarta. Kemudian bagaimana dengan Tu Bi Kontinyu-nya? Wallahua’lam Bis Shawaab…

Bakwan Of Integrity

Ketika melihat sebuah kol putih, bawang merah, bawang putih, terigu, garam tergeletak tak berdaya di dapur, maka sebaiknya dan tidak ada salahnya jika aku manfaatkan semua benda-benda yang ada itu untuk membuat camilan. Daripada lidah hambar karena tidak mengunyah apa-apa. Tampaknya perlakuan yang lebih tepat untuk bahan-bahan yang sederhana itu adalah dibakwani, maksudnya dibuat bakwan. Walaupun tanpa wortel, tapi cukuplah memanfaatkan apa yang ada menjadi sesuatu yang amat sederhana tapi punya efek depan, yaitu mengenyangkan. Lha…perut ada di depan tho? Kalau setelah memakannya terjadi efek samping, maka periksakan pencernaan saudara-saudara ke pihak yang berkompeten dalam urusan membereskan pencernaan.

Bakwan Of Integrity
source: sarahquin.blogspot.com
Selanjutnya adalah mengolah semua bahan sederhana tersebut sebagaimana mestinya dalam prosedur membuat bakwan. Iris dengan pisau tajam dan ganyang sampai halus dengan batu penggilingan yang lebih dikenal dengan ulekan. Batu ulekan di tempatku hanya sebuah batu bulat hasil cetakan alam yang terbentuk oleh gerusan air sungai yang mengalir terus menerus dan mengelus bebatuan di dalamnya sehingga menjadi bentuk yang seperti demikian itu. Mungkin bagi orang yang tidak mengetahui karena keawamannya, batu seperti itu tidak lebih hanya dapat dijadikan sebagai pengganjal pintu yang kusennya miring karena kesalahan perhitungan tata konstruksi bangunan. Miring salah satu, miring pula semuanya. Berbeda dengan batu ulekan yang kutemukan di Jogja maupun di pulau Jawa pada umumnya yang sengaja dibentuk menyerupai pentungan aneh jika dilihat dari dekat dan serupa bumerang buntung jika dilihat dari jauh.

Next, bahan lainnya dicampurkan jadi satu dengan bahan sebelumnya yang sudah diganyang sampai ke akar-akarnya tersebut -tapi jangan disamakan dengan ganyang ideologi terlarang, karena ini adalah ganyang dalam arti yang sesungguhnya-, ditambah sedikit air lalu diaduk rata dan setelah rata, saatnya untuk eksekusi semua bahan tersebut. Perangkat eksekusi cuma sebuah wajan kecil untuk kapasitas tiga bakwan. Setelah warming up dengan minyak goreng, maka adonan bahan tadi dicemplungkan ke dalam minyak panas dengan takaran tertentu untuk mencapai ukuran yang proporsional walaupun dalam bentuk yang bebas berekspresi (tidak beraturan-red). Setelah proses selesai, maka lihatlah… bakwan yang yang dibuat dengan kesederhanaan, niat yang tulus serta penuh integritas ini dapat disajikan dengan ditemani saus tomat dan saus sambal (itupun kalau ada).

Beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam membuat karya apapun walaupun hanya setumpuk bakwan yang sederhana dan penuh integritas ini adalah komposisi bahan serta proporsionalitas yang yang harus diukur dengan kadar yang cermat sehingga menjadi karya yang paripurna. Komposisi yang dimaksud adalah komposisi lahir dan batin, komposisi lahir yang kumaksud adalah bahan-bahan yang sudah disebutkan di atas tadi. Adapun komposisi batin adalah berupa niat, do’a dengan harapan apa yang dihasilkan menjadi sesuatu yang bemanfaat, ketulusan hati serta integritas yang tinggi agar tercapai sebuah tingkat kepuasan tersendiri bagi penikmatnya. Dan bagaimana akhirnya? Selamat menikmati hidangan sederhana ini; Bakwan of Integrity.

Sekolahku Di Rawang (Part-1)

Tadi pagi setelah mengantar bapakku dengan kuda tua kami di tempat kerja beliau di kampungnya, aku sengaja mengambil jalan pulang memutar melewati sekolahku dulu, MTsN Panampung di Rawang, Panampung. Sekolah yang ku masuki tidak pada masa pendaftaran, karena aku sendiri merupakan pindahan dari pesantren yang cuma sempat ku tinggali selama dua bulan, akibat tidak betah tinggal di pesantren karena tidak bisa “malala” kemana-mana.

Sekolahku Di Rawang (Part-1)
source: mtsnpanampuang.blogspot.com
Disekolah inilah aku mulai merasakan penggemblengan yang sesungguhnya dari para guru yang bersahaja. Ibu Marlis yang memberikan pelajaran Al-Qur`an Hadits, setiap murid diharuskan menghafal beberapa Ayat maupun Hadits yang akan dibahas di hari berikutnya. Jika tidak hafal, disetrap sambil mengulang hafalan sampai benar-benar hafal sob… atau paling tidak dicubit di pangkal lengan. Maklumlah, namanya baru tamat SD masih kebawa-bawa tabiat di masa SD, suka main. Tapi ambil positifnya, anggap saja itu sebuah jalan pintas untuk menjadi selebriti, selebriti setrapan tentunya…hehe… Kemudian Pak As’ad Martha, guru Bahasa Inggris yang menurutku benar-benar berjiwa muda serta humoris, humoris habis pula. Jarang marah tapi sering membuat kami bersimbah air mata, bersimbah air mata karena kebanyakan tertawa dengan segala humor beliau di tengah materi pelajaran yang diberikan.

Ada lagi Pak Irwanto, guru yang memiliki sepupu yang menjadi wakil rakyat di pusat ini, serta ditopang badan berkategori subur tapi sangat lincah bermain badminton jago ngebut dengan Vespa-nya ini adalah seorang guru Matematika. Matematika yang sekarang cukup ku pahami dengan Makin Tekun Makin Tidak Karuan karena saking rumitnya, rumit bagiku. Selanjutnya Ibu Radius, guru Bahasa Indonesia bagi anak bangsa ini yang sudah banyak menggunakan Bahasa Indonesia yang melenceng dari langgam yang seharusnya, barangkali termasuk tata bahasa blog ini. Terutama bahasa para wakil rakyat yang sudah dihinggapi bibit-bibit bangsatisme sehingga terlihat dan terdengar tidak sopan untuk dipertunjukkan di hadapan rakyat yang diwakilinya. Tapi perkembangan bahasa sekarang juga punya nilai lebih untuk benda-benda yang marketable, misalnya; Terdakwa, dimaknai dengan Terbukti Tidak Wangi sebagai bahasa iklan untuk produk deodoran, ada-ada sajha… Kembali ke Ibu Radius, di tengah pelajaran tata bahasa yang beliau berikan, terselip kata-kata motivasi serta nasihat berharga bagi kami, murid-muridnya yang terkadang tidak tahu diri ini. Maafkan kami guru…

Melalui sekolah ini pula aku mengenal istilah penyunatan, karena adanya sedikit penyimpangan keuangan berupa penyunatan beasiswa beberapa murid yang berprestasi, beasiswa yang seharusnya diberikan penuh kepada mereka malah “dikuduang” sepuluh persen walaupun akhirnya dkembalikan, pengudungan yang kemudian aku kenal dengan istilah seksi yang bernama korupsi, walaupun saat itu kecil-kecilan. Selain itu aku kemudian paham maksud mark up yang sesungguhnya. Ceritanya ketika kelas Tiga saat belajar Fisika bersama guru yang aku lupa namanya karena beliau adalah guru yang diperbantukan dari sekolah lain. Waktu itu adalah pengenalan tentang komponen elektronika, masing-masing kami saat itu dipinjamkan resistor, karena pembahasan tentang tentang resistor saat itu agak panjang karena membahas warna yang terdapat di resistor. Warna tersebut mempunyai arti nilai hambatan listrik yang diperhitungkankan dalam satuan Ohm. Nah..saat pembagian resistor itulah beliau mewanti-wanti agar resistor yang sangat imut itu jangan sampai hilang karena harganya tiga ratus rupiah. Sobat...yang ku tahu saat itu harga resistor adalah dua puluh lima rupiah. Di saat libur panjang kenaikan kelas ke kelas Tiga aku sudah lebih dahulu ambil star untuk mempelajari elektronika selama sebulan penuh dengan menantu pamanku yang pulang dari Jakarta serta merupakan seorang guru Fisika di sana, gara-gara tertarik dengan pola kerja lampu Running Led yang dipakai ketika pernikahan saudara sepupuku, maka saat itu pulalah aku tahu harga beberapa komponen elektronika termasuk resistor yang sesungguhnya berharga dua puluh lima rupiah.

Tampaknya cukup ini dulu pengalamanku tentang sekolahku di Rawang, Insya Allah nanti akan kulanjutkan di Part-2

Bangsatisme

Beberapa hari lalu di awal tahun 2010 ini, Lembaga Sensor Film melarang penayangan sebuah film berjudul “Bidadari Jakarta”, sebuah film yang menceritakan kehidupan keseharian anak jalanan dan perempuan ibukota. Alasan pelarangan ini adalah karena dalam film ini banyak mengandung kata-kata yang kasar dan tidak pantas untuk dipertontonkan serta diperdengarkan di depan publik. Selang beberapa hari kemudian, rakyat di negeri tercinta ini dipertontonkan serta diperdengarkan dengan ucapan kasar; “bang***” dari mulut seseorang yang “katanya” wakil rakyat yang terhormat. Sebuah realita yang menyedihkan, wakil rakyat dari anggota dewan yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi rakyat yang diwakilinya mengumbar nafsu lidah tajam. Tontonan yang membuat anak kecil yang menyaksikan akan merekam ucapan itu di alam bawah sadarnya serta akan membawanya hingga dewasa, kemudian akan menjadi bagian dari kebiasaannya sebagai orang dewasa.
Pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah; apakah film yang dilarang tersebut perlu dicabut pelarangannya? Supaya lebih adil, karena apa yang sudah dipertontonkan oleh sang wakil rakyat tersebut menafikan pelarangan tersebut. Supaya gambaran realita yang difilmkan betemu dengan realita dari gedung dewan tempat berteduh para wakil rakyat tersebut, termasuk sang wakil rakyat berlidah tajam tersebut. Sehingga menjadi realita yang sesungguhnya.

Yang sangat disayangkan, rekan fraksi dari sang wakil rakyat tersebut menganggap wajar terhadap apa yang sudah dilontarkan dari mulutnya. Entah mungkin karena motivasi solidaritas rekan sesama fraksi atau entah apa.. entahlah… Di sisi lain, apa yang sudah terlontar dari mulut sang wakil rakyat --yang dulu ku kenal sebagai raja minyak, entah minyak apa? Mungkin minyak uang pelicin-- tersebut, di kemudian hari bisa menjadi pembenaran bagi siapapun yang juga mengeluarkan kata-kata yang sebangsa dengan ucapan sang wakil rakyat yang sekali lagi; “katanya” terhormat itu. Sebab contoh sudah ada. Pembenaran tersebut bisa membungkam orang-orang yang masih ingin kelemah-lembutan tetap ada di dalam kehidupan di negeri yang dikenal sebagai negeri orang-orang yang ramah ini.

Satu hal yang perlu dicermati, jika perilaku dan kata-kata tersebut kembali beredar di tengah publik dan kemudian menjadi sesuatu yang membudaya, maka bukan sebuah hal yang mustahil akan tumbuh sebuah ideologi baru yang berlandaskan kekasaran lidah yang saya sebut saja ideologi “Bangsatisme”. Bangsatisme yang diambil dari ucapan; “bang***” yang keluar dari mulut sang wakil rakyat cukup menjadi representasi dari ideologi ini. Pertanyaannya adalah; apakah kita ingin ini menjadi ideologi baru diantara banyaknya ideologi yang merupakan ideologi buangan dari bangsa lain? Silakan tentukan jawabannya.

Jadi kembali berdasarkan ke pertanyaan awal, manakah yang patut untuk dilarang? Film yang saya sebut di atas atau bibit-bibit ideologi yang berlandaskan kekasaran lidah tersebut? Silakan tentukan lagi jawabannya.
PayTren E-Money - Aplikasi Pembayaran Dari Smartphone Anda
.